Selasa, 20 September 2011

Semua Amalan Tergantung Pada Niatnya


sedekah_pohon_16.jpg
Mukadimah:
Kaidah ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap masalah hati dan niat, mengapa demikian? Karena hati adalah kunci utama amalan kita, dan niat adalah ruh penggerak jasad kita. Kita hanya akan mendapat pahala ketika kita niatkan amalan itu karena Alloh, sebagaimana sabda Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-:
عن سعد بن أبي وقاص قال، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: المؤمن يؤجر في كل شيء،[1] حتى في اللقمة يرفعها إلى في امرأته. (رواه أحمد وغيره وقال الأرناؤوط إسناده حسن)ـ
Seorang mukmin bisa mendapat pahala dari segala sesuatu (dengan niat yg baik), hingga suapan yang ia masukkan ke mulut istrinya. (HR. Ahmad dan yang lainnya, dihasankan oleh Al-Arna’uth)
Dengan niat yang baik, amalan yang sederhana bisa menghasilkan pahala yang agung. Tidak asing bagi kita, kenapa sahabat Abu Bakar mengungguli sahabat-sahabat yang lainnya? Seorang tabi’in, Bakr ibnu Abdillah al-Muzaniy mengatakan:
إن أبا بكر رضي الله عنه لم يفضل الناس بكثرة صلاة، إنما فضلكم بشيء كان في قلبه (صحيح موقوف على بكر بن عبد الله المزني)ـ
Sungguh! tidaklah Abu Bakar itu mengungguli orang-orang dengan banyaknya amalan sholatnya, tapi beliau mengungguli kalian itu dengan apa yang ada di hatinya.
Sebaliknya karena niat yang salah, amalan yang besar sekalipun, bisa jadi hanya seperti debu yang beterbangan. sebagaimana firman Alloh swt:
وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباء منثورا
(Ingatlah pada hari kiamat nanti) akan kami perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.
Terlalu banyak ayat maupun hadits yang menunjukkan betapa pentingnya kita memperhatikan hati dan niat kita, sebagai misal saja:
وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين (وكل آية في قرن العبادة أو الدعاء بالإخلاص فإنها دليل على هذه القاعدة)ـ
Alloh berfirman: “Mereka tidak diperintah, melainkan untuk menyembah Alloh dengan ikhlas semata-mata karena menjalankan agama-Nya” (Al-Bayyinah:5)… (Semua ayat yang menggabungkan ibadah atau doa dengan ikhlas, bisa menjadi dalil untuk kaidah ini).
وعن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إن الله لا ينظر إلى أجسادكم، ولا إلى صوركم، ولكن ينظر إلى قلوبكم” (رواه مسلم)ـ
Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “sesungguhnya Alloh tidak melihat jasad dan rupa kalian, tapi yang Dia lihat adalah hati kalian” (HR. Muslim)
إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا، فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا فَهُوَ يَخْبِطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلَا يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ وَلَا يَعْلَمُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا فَهُوَ يَقُولُ لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ (رواه الترمذي وقال هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ، وصححه الألباني)ـ
Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Dunia ini, hanya untuk empat orang:
(1) Hamba yang Alloh beri harta dan ilmu, lalu dengannya ia bertakwa pada Tuhannya, menyambung tali silaturahim, dan menunaikan hak Alloh pada hartanya (zakat), maka orang seperti ini berada di posisi paling tinggi.
(2) Hamba yang Alloh beri Ilmu tanpa harta, akan tetapi ia baik niatnya, ia berkata: ‘Seandainya aku punya harta, tentu aku beramal seperti amal baiknya si fulan (yang kaya)’, maka orang seperti ini dapat pahala sebagaimana niatnya, sehingga kedua orang ini pahalanya sama.
(3) Hamba yang Alloh beri harta tanpa ilmu, lalu ia sembrono dalam menggunakan hartanya tanpa dasar ilmu, sehingga ia tidak bertakwa pada tuhannya dalam menggunakannya, tidak menyambung tali silaturrohim, dan tidak menunaikan hak Alloh pada hartanya (zakat), maka orang seperti ini berada di posisi paling buruk (bawah).
(4) dan Hamba yang tidak diberi harta dan ilmu, (serta buruk niatnya), ia mengatakan: ‘Seandainya aku punya harta, tentu aku akan gunakan sebagaiman si fulan menggunakannya’, maka orang seperti ini menuai dosa karena niatnya, sehingga kedua orang ini dosanya sama”.
(HR. Tirmidzi, ia mengatakan: Hasan Shohih, dishohihkan pula oleh Albani).
Ini merupakan kaidah yang sangat agung, ia masuk dalam separoh syariat Islam, mengapa demikian? Karena syariat Islam terbagi menjadi dua: Syariat yang mengatur amalan lahiriyah, dan syariat yang mengatur amalan batiniyah, dan kaidah ini sebagai pengatur amalan batiniyah, yaitu niat.
Para Ulama salaf mengetahui benar hal ini, oleh karenanya mereka sangat serius dalam memperbaiki niatnya. Renungkanlah atsar-atsar berikut ini:
  • Yahya ibnu Katsir: (تعلّموا النية، فإنه أبلغُ من العمل) pelajarilah masalah niat, karena itu lebih penting daripada amalan.
  • Zabid al-Yami: (إني لأُحِبُّ أن تكون لي نيةٌ في كل شيءٍ حتى في الطعام والشراب) sungguh aku senang, untuk meniatkan segala sesuatunya (untuk ibadah), meskipun dalam hal makan dan minum.
  • Dawud at-Tho’i: (رأيت الخيرَ كلَّه، إنما يجمعُه حسنُ النية) aku melihat, segala kebaikan hanya terkumpul dalam niat yang baik.
  • Sufyan at-Tsauriy: (ما عالَجْتُ شيئاً أشدَّ عليّ من نيّتِي، لأنها تتقلَّبُ عليّ) tidak ada yang lebih berat bagiku melebihi beratnya mengobati niatku, karena ia selalu berubah-rubah dalam diriku.
  • Yusuf bin Asbath: (تخليصُ النية من فسادها أشدُّ على العالِمين من طول الاجتهاد) membersihkan niat dari kotoran, lebih berat daripada istiqomah dalam amal ibadah.
  • Muthorrif ibnu Abdillah: (صلاحُ القلبِ بصلاحِ العمل, وصلاحُ العمل بصلاح النية) hati yang baik adalah karena amal yang baik, dan amal yang baik adalah karena niat yang baik.
  • Abdulloh bin Mubarok: (رُبَّ عملٍ صغيرٍ تُعَظِّمه النية, ورُبَّ عملٍ كبيرٍ تُصَغِّرُه النية) betapa banyak amalan yang sepele menjadi besar karena niatnya, sebaliknya betapa banyak amalan yang besar menjadi kecil karena niatnya.
  • Ibnu ’Ajlan: (لا يصلح العملُ إلا بثلاث: التقوى لِلّه, والنيةُ الحسنة, والإصابةُ) Amal tidak akan menjadi baik kecuali dengan tiga syarat: takwa, niat yang baik dan benar dalam melakukannya.
  • Fudhoil bin ’Iyadh: (إنما يريد الله منك نيتك وإرادتك) Sesungguhnya yang Alloh inginkan darimu adalah niat dan tujuanmu.
  • Beliau juga mengatakan:
(إن العملَ إذا كان خالصاً ولم يكن صواباً لم يُقْبَل, وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا، لم يُقْبَل حتى يكون خالصا صوابا)
Sesungguhnya amal yang ikhlas tapi tidak benar, ia tidak akan diterima, begitu pula ketika amal itu benar tapi tidak ikhlas… Ia tidak akan diterima hingga menjadi amal yang ikhlas dan benar. (Ikhlas jika dilakukan karena Alloh, dan benar jika dilakukan sesuai tuntunan).
Begitulah para salafus sholeh, mereka tidak berkata dan bertindak kecuali setelah menghadirkan niat yang baik, sehingga menjadi berkah ucapan, perbuatan dan umur mereka. Mereka menjadi teladan dalam amalannya, karena mereka lebih dulu menjadi teladan dalam memperbaiki niatnya. Sungguh mereka tidak asal-asalan dalam beramal, tapi amal mereka muncul dari hati yang bersih, suci, dipenuhi iman, takwa dan rasa takut pada Alloh ta’ala, dan tentunya amal mereka itu muncul dari pemahaman yang mendalam tentang kitab dan sunnah.
Itulah yang membuat mereka beda dengan kita, padahal puasa mereka sepintas sama seperti puasa kita, begitu pula sholatnya, sama seperti sholat kita, hanya saja niat dan tujuan yang jelas jauh berbeda.
Oleh karena itu, hendaklah kita benar-benar memperhatikan masalah niat ini, Pahala niat sangat agung, begitu bahanyanya sangat besar. Amal kita ibarat jasad, sedangkan niat adalah nyawanya, dan tiada guna jasad tanpa ada nyawa. Amal kita juga ibarat pohon, sedangkan niat adalah akarnya, dan pohon tidak akan tumbuh dengan baik tanpa akar yang kokoh.
Itulah sebabnya kita merasa berat dalam melakukan ibadah, mengapa? Karena kita tidak menghadirkan niat yang tulus dalam beribadah. Wallohul musta’an.
Nash-nash diatas, secara tidak langsung, juga menunjukkan pentingnya kita mempelajari kaidah pertama ini: “segala sesuatu tergantung pada tujuannya”.
Dari manakah para ulama menyimpulkan kaidah ini?
Dari banyak nash-nash syar’i, baik dari Alqur’an maupun Sunnah… Dan nash yang paling mirip dengan bunyi kaidah ini adalah hadits yang sangat masyhur, yang diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khottob ـ: (قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إنما الأعمال بالنيات)ـ semua amalan itu tergantung niatnya.
Bahkan sebagian ulama mengatakan, bahwa Lafal hadits ini lebih baik dan lebih mengena dibandingkan lafal kaidah tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnus Subkiy dalam kitabnya al-Asybah wan Nadho’ir (1/54).
Apa arti kaidah ini?
(الأمور) adalah bentuk jamak (plural) dari kata (الأمر) dan makna kata tersebut dalam bahasa arab banyak, diantaranya: perintah, keadaan, sesuatu, perbuatan. Dan yang dimaksud (الأمر) dalam lafal kaidah ini adalah: (الفعل والعمل)[2] yaitu perbuatan, dan ia mencakup perbuatan lisan dan anggota badan lainnya.
(مقاصد) adalah bentuk plural (jamak) dari kata (مقصد) yang berarti (النية),[3] dan definisi niat adalah: dorongan hati untuk melakukan sesuatu yang dikehendakinya.
Dari keterangan ini, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa arti dari kaidah ini, dilihat dari susunan katanya adalah: Semua amalan itu tergantung niatnya, dan makna ini sama persis dengan makna lafal hadits (الأعمال بالنيات). Karena maknanya sama, maka penggunaan lafal nabawi (الأعمال بالنيات), lebih utama ketimbang menggunakan lafal non nabawi, seperti (الأمور بمقاصدها), wallohu a’lam.
Maksud kaidah ini adalah, bahwa semua amalan seseorang, (baik ucapan maupun perbuatan, baik amalan duniawi maupun ukhrowi), akan berbeda hasil dan hukumnya, sesuai dengan maksud dan tujuan orang yang melakukannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar